Selasa, 02 Oktober 2018

Malarindu – Senja Terakhir di Tanah Perantauan


Aku menyesap teh yang aku beli di kantin parma PKN STAN ini. Aku jadi mengingat-ngingat bagaimana bisa aku kuliah di perguruan tinggi kedinasan ini. 3 tahun lalu saat kali pertama aku menjejakkan kakiku di kota metropolitan ini, tak ada satupun keinginan tuk bertahan dan terus berada di kota ini. Paksaaan kuliah dan tuntutan lulus lah yang membuatku bertahan dan menjalani hari demi hari, sembari terus mencoret kertas countdown pulang ke Malang yang aku temple di dinding kamarku. “28 days to go home” begitu kata handphone yang juga aku pasangi reminder countdown pulang ke Malang.

Saking bencinya, atau bahasa halusnya saking tidak betahnya aku, bahkan aku pernah menulis sebuah posting di blog ini dengan judul “Senja Sabtu di Tanah Perantauan”yang berisikan tentang kesedihan malam minggu dan perbedaan bagaimana aku menjalan malam minggu di Bintaro dan di Malang. Saat itu, memang rasanya homesick adalah kawan dan waktu adalah lawan. Jika bisa, ingin rasanya aku bolak-balik Malang-Bintaro setiap Minggu.

Perasaan itu terus berjalan hingga 1 tahun lamanya. Dalam 1 tahun pertama itu, seringkali aku mengambil jatah dan bolos kuliah untuk pulang ke Malang. Terkadang karena sakit atau terkadang juga karena ingin saja pulang, tidak ada alasan spesifik. Di akhir tahun pertama aku sudah lumayan bisa beradaptasi dan membuat jalinan pertemanan yang sangat lekat dengan kawan-kawan di kosku. Nahas, pun sedih, mengetahui bahwa di tahun kedua kami semua berpisah karena harga kos yang naik. Suasana yang awalnya membuatku sangat nyaman berada di Bintaro, utamanya di kostan berubah kembali menjadi perasaan tidak betah. Kost yang baru pun tidak memberikan kenyamanan. Saat itu, yang aku pikirkan hanyalah rindu. Rindu dengan kost yang lama, dengan suasananya, juga dengan teman-temannya. Tapi, apa? Semakin dewasa semakin kita tahu bahwa satu per satu teman kita juga akan pergi entah untuk menggapai cita-citanya atau mengejar cintanya. Rindu itu datang bergantian. Saat 1 orang rindu, teman-temannya hampir pasti tidak akan merasakannya. Saat salah temannya merasakannya, hampir pasti 1 orang itu dan teman lainnya tidak akan merasakannya. Begitu pun juga dengan rindu itu.

Senja terakhir di tanah perantauan. Teman-temanku sibuk belajar tes TKD yang membuat pusing 7 keliling karena jika kami tidak lolos artinya = mati. Tidak, tentu saja bukan mati yang sesungguhnya. Tetapi, jika kita tidak lolos kita tidak bisa menjadi PNS (sesuatu yang selalu diidam-idamkan oleh orang tua kita). Teman-temanku sibuk belajar TKD dan tidak menyadari ada 1 orang yang sangat rindu dan khawatir bahwa dalam waktu kebersamaan ini akan segera berakhir.

Di mana yang biasanya setiap malam main PES bersama tentu akan segera berlalu.

Di mana yang biasanya futsal bersama pasti akan segera berakhir.

Di mana yang biasanya saling membangunkan dan membantu pasti akan segera pergi.

Pun dengan hiruk pikuk kampus PKN STAN ini. Takkan ada lagi suasana kampus di pagi hari yang lengang yang baru menunjukkan kesibukannya di menit-menit terakhir dosen masuk. Takkan ada lagi suasana hentakan sepatu tanda mahasiswa bea cukai sedang baris ber baris. Takkan ada lagi kawan yang ada dan selalu menyemangati dalam keadaan apapun. Takkan ada lagi kamu, kampusku yang walaupun kecil tapi sangat membekas di hati.

Teh yang sedari tadi masih panas sekarang sudah mereda. Ku sesap semakin dalam dan kembali melamun tentang perasaan aneh dalam hatiku sedih bercampur haru akan meninggalkan kampusku ini. Jadi, apa yang sebenarnya kita namai rindu itu? Barangkali perasaan enggan pindah dari suatu zona yang telah lama kita hinggapi. Barangkali juga perasaan mengganjal ketika kita akan berlanjut pada tahap berikutnya.

Aku jadi berfikir apakah arti rindu itu? Mungkin kita bukan rindu dengan seseorang atau teman-teman. Tetapi, nyatanya kita rindu dengan suasana atua keadaan yang pernah terjadi dan berlalu dalam memori kita. Kita terjebak dalam memori itu yang membuat kita tak bisa melangkah. Yang kita perlukan hanyalah sedikit menengok kenangan itu. Kenangan yang membuat diri kita menjadi kita yang sekarang.

Teh di gelasku tinggal sedikit. Ku putuskan untuk menghabiskannya dan segera beranjak pulang kembali ke Malang. Meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi di sini.
Senja terakhir di tanah perantauan. Sampai jumpa kampusku, 2 tahun lagi aku akan kembali.

Ambil Jatah - Kuliah di PKN STAN

Berada di perguruan tinggi yang sarat dan terkenal akan "drop out"-nya tentu saja membuat semua orang jadi parno (paranoid). Sejak sosialisasi di SMA mengenai PKN STAN saja, semua sudah membahas tentang adanya drop out ini. Jadinya, ketika aku pertama kali tiba di kampus Ali Wardhana ini aku juga ikut parno. Aku tidak berani berperilaku aneh-aneh. Aku tidak berani mengenakan jaket di kampus, aku tidak berani tidak mengenakan kemeja lengan panjang, aku tidak berani tidak memakai sepatu pantofel, dan aku tidak berani-tidak berani lainnya yang disebabkan aku takut drop out. Dan satu lagi, aku tidak berani ambil jatah/bolos/izin karena sakit/tidak masuk kuliah.

Padahal jika kita tahu, ancaman drop out tidak semengerikan itu. Walaupun kita tidak pintar-pintar amat dan tidak rajin belajar-rajin belajar amat, selama kita rajin masuk kuliah dan mendengarkan dosen insya Allah kita aman dan tidak akan di drop out. Ya, memang sih terkadang ada temanku yang bernasib buruk. Entah mendapat dosen killer yang membuat dia di drop out atau terkena masalah sepele lain yang membuat dia harus pulang lebih cepat dari kampus Ali Wardhana ini.

Oh iya, jadi meluber ke mana-mana membahas tentang drop out ini. Jadi, intinya seperti judul. Dulu aku takut ambil jatah. Saat semester 1 aku tidak pernah tidak masuk dan absenku selalu penuh. Semua berubah saat masuk ke semester 2. Saat itu ada 1 Minggu yang libur selama 3 hari kerja. Jadinya, kuliah cuma masuk Senin dan Selasa. Alhasil, aku pertama kali ini mengambil jatah dan tidak masuk kuliah hari Senin dan Selasa (2 matkul saja). Setelah itu, aku jadi mulai berani memanfaatkan jatah ini. Normalnya, selama 1 semester kita boleh tidak masuk selama 3x per matkul. Jadi, hampir setiap semester aku memanfaatkan 1x jatah untuk pulang ke Malang.

MANDIRI FINANCIALLY

Sesungguhnya aku tidak tahu bahasa inggrisnya mandiri secara keuangan. Ya mungkin kira-kira judul di atas sudah menggambarkan lah ya.

Aku sudah hampir mandiri financially ketika mulai kuliah di PKN STAN. Tidak benar-benar mandiri karena tiap bulan aku masih menerima uang sangu dari orang tua. Yang berbeda ketika ada biaya tambahan seperti membeli buku, iuran kemahasiswaan, iuran wisuda atau yang lain aku tidak pernah meminta orang tuaku. Teman-temanku yang terkadang juga meminta ganti atas tiket pulang pergi pun aku tidak memintanya.

Bahkan saat ketika pernah dalam beberapa bulan aku mendapat uang hasil usaha di atas 5 juta, aku rutin tiap bulan mengirimi uang ke orang tuaku 1 juta.

Tetapi, semua itu sepeti tidak berarti ketika orang tua mu berkata "Kamu gak pernah isiin bensin motor. Mama terus yang ngisi" dengan nada sinis wkwkkw

Astaghfirullah wwkwkwk Alhamdulillah

TEPAT WAKTU

Aku selalu BERUSAHA menjadi orang yang tepat waktu. Bahkan, lebih dari tepat waktu. Aku selalu datang 1 hingga 2 jam sebelum tempat janjian, sebelum kereta berangkat, atau sebelum pesawat berangkat. Caranya? Tentu saja aku mengira-ngira waktu perjalanan dari rumah menuju lokasi janjian. Mengira-ngira apakah hari ini macet. Lalu kemungkinan-kemungkinan lain.

Memang terkadang aku juga terlambat. Seperti kadang walaupun aku berusaha datang awal ketika kuliah, tetapi ketika aku tahu dosen jadwal kuliahku tersebut selalu terlambat kadang-kadang aku juga jadi ikut terlambat

Tapi, sesuatu yang membuat jengkel adalah ketika kita janjian tetapi orang yang berjanjian dengan kita terlambat. Benar-benar orang yang tidak bisa menghargai waktu sama sekali.