Aku menyesap teh yang aku beli di kantin parma PKN STAN ini.
Aku jadi mengingat-ngingat bagaimana bisa aku kuliah di perguruan tinggi
kedinasan ini. 3 tahun lalu saat kali pertama aku menjejakkan kakiku di kota
metropolitan ini, tak ada satupun keinginan tuk bertahan dan terus berada di
kota ini. Paksaaan kuliah dan tuntutan lulus lah yang membuatku bertahan dan
menjalani hari demi hari, sembari terus mencoret kertas countdown pulang ke
Malang yang aku temple di dinding kamarku. “28 days to go home” begitu kata
handphone yang juga aku pasangi reminder countdown pulang ke Malang.
Saking bencinya, atau bahasa halusnya saking tidak betahnya
aku, bahkan aku pernah menulis sebuah posting di blog ini dengan judul “Senja
Sabtu di Tanah Perantauan”yang berisikan tentang kesedihan malam minggu dan
perbedaan bagaimana aku menjalan malam minggu di Bintaro dan di Malang. Saat
itu, memang rasanya homesick adalah kawan dan waktu adalah lawan. Jika bisa,
ingin rasanya aku bolak-balik Malang-Bintaro setiap Minggu.
Perasaan itu terus berjalan hingga 1 tahun lamanya. Dalam 1
tahun pertama itu, seringkali aku mengambil jatah dan bolos kuliah untuk pulang
ke Malang. Terkadang karena sakit atau terkadang juga karena ingin saja pulang,
tidak ada alasan spesifik. Di akhir tahun pertama aku sudah lumayan bisa
beradaptasi dan membuat jalinan pertemanan yang sangat lekat dengan kawan-kawan
di kosku. Nahas, pun sedih, mengetahui bahwa di tahun kedua kami semua berpisah
karena harga kos yang naik. Suasana yang awalnya membuatku sangat nyaman berada
di Bintaro, utamanya di kostan berubah kembali menjadi perasaan tidak betah.
Kost yang baru pun tidak memberikan kenyamanan. Saat itu, yang aku pikirkan
hanyalah rindu. Rindu dengan kost yang lama, dengan suasananya, juga dengan
teman-temannya. Tapi, apa? Semakin dewasa semakin kita tahu bahwa satu per satu
teman kita juga akan pergi entah untuk menggapai cita-citanya atau mengejar
cintanya. Rindu itu datang bergantian. Saat 1 orang rindu, teman-temannya
hampir pasti tidak akan merasakannya. Saat salah temannya merasakannya, hampir
pasti 1 orang itu dan teman lainnya tidak akan merasakannya. Begitu pun juga
dengan rindu itu.
Senja terakhir di tanah perantauan. Teman-temanku sibuk
belajar tes TKD yang membuat pusing 7 keliling karena jika kami tidak lolos
artinya = mati. Tidak, tentu saja bukan mati yang sesungguhnya. Tetapi, jika
kita tidak lolos kita tidak bisa menjadi PNS (sesuatu yang selalu
diidam-idamkan oleh orang tua kita). Teman-temanku sibuk belajar TKD dan tidak
menyadari ada 1 orang yang sangat rindu dan khawatir bahwa dalam waktu
kebersamaan ini akan segera berakhir.
Di mana yang biasanya setiap malam main PES bersama tentu
akan segera berlalu.
Di mana yang biasanya futsal bersama pasti akan segera
berakhir.
Di mana yang biasanya saling membangunkan dan membantu pasti
akan segera pergi.
Pun dengan hiruk pikuk kampus PKN STAN ini. Takkan ada lagi
suasana kampus di pagi hari yang lengang yang baru menunjukkan kesibukannya di
menit-menit terakhir dosen masuk. Takkan ada lagi suasana hentakan sepatu tanda
mahasiswa bea cukai sedang baris ber baris. Takkan ada lagi kawan yang ada dan
selalu menyemangati dalam keadaan apapun. Takkan ada lagi kamu, kampusku yang
walaupun kecil tapi sangat membekas di hati.
Teh yang sedari tadi masih panas sekarang sudah mereda. Ku
sesap semakin dalam dan kembali melamun tentang perasaan aneh dalam hatiku
sedih bercampur haru akan meninggalkan kampusku ini. Jadi, apa yang sebenarnya
kita namai rindu itu? Barangkali perasaan enggan pindah dari suatu zona yang
telah lama kita hinggapi. Barangkali juga perasaan mengganjal ketika kita akan
berlanjut pada tahap berikutnya.
Aku jadi berfikir apakah arti rindu itu? Mungkin kita bukan
rindu dengan seseorang atau teman-teman. Tetapi, nyatanya kita rindu dengan
suasana atua keadaan yang pernah terjadi dan berlalu dalam memori kita. Kita
terjebak dalam memori itu yang membuat kita tak bisa melangkah. Yang kita
perlukan hanyalah sedikit menengok kenangan itu. Kenangan yang membuat diri
kita menjadi kita yang sekarang.
Teh di gelasku tinggal sedikit. Ku putuskan untuk
menghabiskannya dan segera beranjak pulang kembali ke Malang. Meninggalkan
semua kenangan yang pernah terjadi di sini.
Senja terakhir di tanah perantauan. Sampai jumpa kampusku, 2
tahun lagi aku akan kembali.